86: Semua Beres, Tahu Sama Tahu

Beberapa minggu ke belakang, saya mencari buku Maryam karya Okky Madasari di sebuah online shop, namun sudah habis. Saya mencari novel tersebut karena penasaran dan ingin sekali membacanya karena memenangi Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2012. Absurb yah alasannya. hahaha.. Dikarenakan telah habis, akhirnya saya memutuskan untuk membeli novel lain karya Okky di online shop tersebut, yaitu novel berjudul 86. Memang saya cukup terlambat membaca buku yang diterbitkan tahun 2011 ini, namun saya anggap tak ada salahnya saya membacanya ketimbang tidak sama sekali, juga sebagai perkenalan saja untuk mengetahui bagaimana karya penulis ini dan bila sudah tersedia kembali novel Maryam, pasti saya akan membelinya.

Sampul Novel 86
Sampul Novel 86

Dengan desain sampul karya Restu Ratnaningtyas yang sederhana, dengan warna dominan kuning dan suatu gambar ilustrasi berbentuk angka 8 (delapan) dan 6 (enam) memang kurang menarik, tetapi setelah membacanya saya menemukan kenyamanan untuk terus menelusuri isi dari novelnya. Seperti candu, setiap lembarnya dilahap tanpa ada perasaan ingin berhenti membaca. Okky cukup pandai memilih kata-kata, tanpa bunga-bunga kalimat, langsung pada intinya, sehingga mau tidak-mau saya terhipnotis untuk terus membacanya sampai habis. Selama tiga hari, disela-sela kesibukan pekerjaan kantor saya habiskan novel setebal 252 halaman ini.

Novel ini menceritakan tentang Arimbi, seorang perempuan yang polos, berasal dari desa di Jawa dan kemudian hijrah ke Jakarta menjadi seorang juru ketik di pengadilan negeri. Ceritanya diawali dengan keadaan mula-mula Arimbi yang hidup pas-pasan, tinggal disebuah rumah kontrakan yang terletak di kawasan cukup pengap dan terbilang kumuh di Jakarta. Sebagai pegawai yang boleh dibilang rendah pada struktur kepegawaian pengadilan negeri, gaji bulanan Arimbi memang tak cukup untuk mendapatkan tempat tinggal yang cukup mumpuni. Dari situ, cerita sedikit mundur ke belakang lagi, ketika Arimbi harus tinggal di tempat yang tidak lebih baik ketimbang tempatnya di Jakarta, saat dia masih kuliah di Solo. Beruntung dia dapat menyelesaikan kuliahnya walau dengan dana yang terbatas, dibantu juga dengan kondisinya sebagai anak tunggal yang kiriman biaya hidupnya tak keteteran terbagi dengan yang lain.

Arimbi memiliki seorang atasan bernama Bu Danti, seorang panitera yang sudah cukup lama bekerja di pengadilan. Bu Danti digambarkan sebagai orang yang supel, banyak bicara dan selalu gembira sepanjang hari. Sebagai atasan, Bu Danti tak segan untuk menyapa atau bergaul dengan bawahannya. Dengan kata lain, Dia adalah tipikal atasan yang disukai oleh bawahannya. Arimbi memiliki seorang teman bernama Anisa yang memiliki kedudukan yang sama di tempat kerjanya . Mereka berdua senang bergosip, membicarakan perihal Bu Danti yang selingkuh atau hal lain seputar pekerjaan mereka. Anisa yang bekerja lebih lama ketimbang Arimbi juga banyak tahu tentang orang-orang di pengadilan.

Status sosial seseorang yang berasal dari desa kemudian bekerja pada sebuah institusi semacam pengadilan negeri di kota besar memang berubah. Orang-orang di desa Arimbi menganggapnya telah berhasil, telah hidup enak serba berkecukupan, tanpa mengetahui sebenarnya Arimbi tinggal di sebuah kontrakan yang sangat sederhana dan uang gajinya pun pas-pasan untuk membiayai hidup. Saya jadi teringat kisah Gadis Pantai, sebuah novel karya Pramoedya yang menceritakan seorang gadis dari desa yang hijrah ke kota dan dianggap lebih terhormat di mata orang-orang desa. Padahal Gadis Pantai cukup menderita hidup dibawah bayang-bayang Bendoro yang menjadikannya Mas Nganten di kota.

Cerita terus mengalir, hingga Arimbi menemukan istilah 86, yang berarti semua urusan beres, tahu sama tahu. Uang yang bekerja melancarkan segala permasalahan. Pertama-tama Arimbi mendapatkan sebuah AC untuk kamar kontrakannya yang pengap dan panas dari hasil kerjanya sebagai juru ketik. Arimbi yang masih polos pun bingung, ketika menerima AC tersebut, orang yang mengantarkannya mengucapkan terima kasih atas jasa Arimbi yang telah ikut membantu melancarkan persidangan dari atasan orang tersebut. Itu semua berkat Bu Danti juga sebenarnya, yang telah mengatur jadwal persidangan, siapa hakimnya dan bagaimana keputusannya seharusnya. Selanjutnya Arimbi mulai mengenal pengacara yang minta kasusnya untuk diurus agar lancar. Sebagai bawahan Bu Danti, Arimbi mengikuti apa yang diperintah olehnya. Arimbi mendapatkan uang dari hasil membantu pengacara tersebut atas arahan Bu Danti. Uang-uang tersebut merupakan sebuah sogokan agar semua urusan beres, lancar, dan hasil keputusan sudah dapat dipastikan hasilnya. Arimbi pun mulai terbiasa menerima sogokan dan mengenal beberapa pengacara. Pokoknya dengan uang, lapan anam, semua urusan beres.

Novel ini secara tidak langsung menggambarkan bagaimana korupsi dan kasus suap-menyuap begitu menjadi budaya di Indonesia. Mulai dari pedesaan, warga yang ingin menjadi perangkat desa mesti menyetorkan sejumlah uang agar lolos menduduki jabatan yang diinginkannya, bahkan seseorang yang dianggap pemimpin desa pun demikian dekatnya dengan suap-menyuap, sungguh bukan budaya yang layak dibudidayakan. Bergerak ke kota tak kalah masifnya tindakan-tindakan kotor yang melibatkan uang sebagai pelicin urusan. Terkadang yang benar dapat ditumpas oleh pengadilan hanya karena yang salah berani bayar mahal untuk mempertahankan kesalahannya sehingga dapat dianggap benar. Arimbi yang dekat dengan dunia peradilan tak luput dari cipratan lumpur kotor korupsi dan suap-menyuap. Orang yang sebelumnya dapat dipercaya dapat dengan mudah berbalik mengkhianati ketika ada uang yang begitu besar nominalnya. Bahkan ketika masuk ke dalam penjara pun, Arimbi didekatkan dengan praktek kotor suap-menyuap tersebut. Yang memiliki uang lebih dapat lebih leluasa bergerak di balik tembok tinggi rumah tahanan. Tak hanya pada praktek kotor yang melibatkan uang, di dalam rumah tahanan pun seorang narapidana dapat mengatur pemasaran shabu-shabu di luar tembok hotel prodeo tersebut.

Pengalaman Okky sebagai wartawan yang selalu dekat dengan kasus-kasus kejahatan korupsi dapat dituangkan dalam cerita bagus dalam novelnya tersebut. Penggambaran kasus-kasus yang masuk nalar orang-orang awam dicerahkan melalui narasi kehidupan Arimbi sebagai tokoh utamanya. Dapat dilihat bahwa korupsi yang menjalar-membudaya di negeri ini begitu mengerikan. Semua kejahatan itu didorong oleh kebutuhan-kebutuhan yang terkadang mendesak, tapi ada juga yang melakukannya karena terbuai mimpi-mimpi indah ketika bergelimang harta dengan jalan pintas dan tanpa berpikir panjang.

Melalui novel ini, Okky berhasil menggambarkan bagaimana praktek-praktek kotor korupsi begitu tidak asingnya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, begitu mudahnya dilakukan selama memberikan keuntungan bagi keduabelah pihak yang bersekongkol tanpa takut akan hukuman. Tak hanya pelakunya, hukumnya pun tak berdaya sama sekali menghadang kejahatan yang mampu ditutupi oleh uang tersebut. Novel yang cukup memberikan pencerahan dan gambaran melalui cerita yang dekat dengan keseharian.

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑